Siang itu
Rasululah SAW sedang shalat
berjama’ah di masjid bersama para sahabat beliau. Diantara sederetan para
sahabat yang makmum di belakang Rasulullah, nampak seorang tengah baya yang
kusut rambutnya dengan berpakaian lusuh. Ia dikenal sebagai seorang sahabat
Rasululah SAW yang tekun beribadah.
Setelah Rasulullah SAW
menyelesaikan shalat, sahabat berpakaian lusuh itu segera
beranjak pulang tanpa membaca wirid dan berdoa terlebih dahulu. Rasulullah
menegurnya, “Tsa’labah! Mengapa engkau tergesa-gesa pulang? Tidakah
engkau berdoa terlebih dahulu?. Bukankah tergesa-gesa
keluar dari masjid adalah kebiasaan orang-orang munafik?” Tsa’labah
menghentikan langkahnya, ia sangat malu ditegur oleh Rasulullah SAW, tetapi apa
mau dikata, terpaksa ia berterus terang kepada Rasulullah SAW.
“Wahai
Rasululah ... Kami hanya memiliki sepasang pakaian untuk shalat dan saat ini
istriku di rumah belum melaksanakan shalat karena menunggu pakaian yang aku
kenakan ini. Pakaian
yang hanya sepasang ini kami pergunakan shalat secara
bergantian. Kami sangat miskin. Untuk itu, Wahai Rasul ... jika
engkau berkenan, doakanlah kami agar Allah SAW
menghilangkan semua kemiskinan kami dan memberi rejeki yang banyak.” Rasulullah SAW tersenyum mendengar penuturan Tsa’labah, lalu
beliau berkata, “Tsa’labah sahabatku…, engkau dapat mensyukuri hartamu yang
sedikit, itu lebih baik daripada engkau bergelimang harta tetapi engkau menjadi
manusia yang kufur”.
Nasehat
Rasulullah sedikit menghibur hati Tsa’labah, karena sesungguhnya yang ada dalam
benaknya adalah ia sudah bosan menjalani hidup yang serba kekurangan. Satu-satunya
cara agar cepat menjadi kaya adalah memohon doa kepada Rasulullah SAW, karena doa
seorang utusan Allah pasti didengar Allah SWT. Itulah
yang selalu menjadi angan-angan Tsa’labah, hingga keesokan harinya ia kembali
menemui Rasulullah dan memohon agar beliau mau medoakannya agar menjadi orang
kaya.
Rasulullah SAW kembali
menasehati, “Wahai Tsa’labah.. Demi Dzat diriku berada di tanga-Nya.
Seandainya aku memohon kepada Allah agar gunung Uhud menjadi emas, Allah pasti
mengabulkan. Tetapi apa yang terjadi jika gunung Uhud benar-benar menjadi emas,
masjid-masjid akan sepi!. Semua orang akan sibuk menumpuk kekayaan
dari gunung itu! Aku khawatir jika engkau menjadi orang kaya, engkau akan lupa
beribadah kepada Allah SWT”
Tsa’labah terdiam mendengar nasehat
Rasulullah namun dalam hatinya terkecamuk,
“Aku mengerti Rasulullah tidak mau mendoakan karena beliau sayang kepadaku.
Beliau khawatir jika aku menjadi orang kaya, aku akan menjadi golongannya
orang-orang yang kufur. Tetapi aku tidak seburuk itu, justru dengan kekayaan yang kumiliki aku akan
membela agama ini dengan hartaku…”
Akhirnya Tsa’labah pulang. Ia merasa malu
apabila terus memaksa Rasulullah agar mau mendoakannya. Namun keesokan harinya
ia tidak kuasa menahan dorongan hatinya untuk segera terbebas dari belenggu
kemiskinan yang kian menghimpitnya. Ditemuinya Rasulullah, ia memohon untuk
yang ketiga kalinya agar Rasulullah mau mendoakannya. Kali ini Rasulullah tidak
bisa menolak keinginan Tsa’labah, beliau mengadahkan tangan ke langit…
“Ya
Allah… Limpahkanlah rejekiMu kepada Tsa’labah” Kemudian
Rasulullah memberikan kambing betina yang sedang bunting kepada Tsa’labah.
“Peliharalah kambing ini baik-baik….” pesan Rasulullah. Tsa’labah
pulang membawa kambing pemberian Rasulullah dengan hati yang berbunga-bunga.
“Dengan modal kambing serta doa Rasulullah, aku yakin aku akan menjadi orang
yang kaya raya”.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan,
Tsa’labah yang dulu miskin dan lusuh telah berubah menjadi orang kaya yang
terpandang. Kambingnya berjumlah ribuan. Disetiap lembah dan bukit terdapat
kambing-kambing Tsa’labah.
Pagi itu Tsa’labah berjalan-jalan meninjau
kandang-kandang kambing yang sudah tidak sesuai dengan jumlah kambing yang
terus berkembang biak. “Hmm.. Aku harus pindah dari sini, mencari
lahan yang lebih luas untuk menampung kambing-kambingku…”
Akhirnya Tsa’labah menemukan lahan yang luas di pinggiran madinah. Di sana ia
membangun kandang-kandang baru yang lebih besar. Namun demikian perkembangan
kambing-kambing Tsa’labah bagaikan air bah yang sulit di bendung.
Kandang-kandang yang baru dibangun itu pun sudah penuh sesak oleh ribuan
kambing. Dengan demikian setiap hari Tsa’labah disibukkan mengurus harta kekayaannya.
Ia yang dulu setiap shalat lima waktu selalu berjamaah di masjid,
sekarang hanya datang ke masjid pada waktu shalat Dzuhur
dan Ashar saja.
Kini kandang-kandang yang baru dibangun Tsa’
labah di pinggiran Madinah sudah tidak lagi memenuhi syarat. Maka ia memutuskan
untuk mencari area yang lebih luas lagi. Tentu saja area yang masih sangat luas
itu berada jauh di luar Madinah. Tsa’labah sudah tidak memikirkan lagi
bagaimana ibadahnya bila jauh dari Madinah. Kepalanya sudah dipenuhi dengan
hubbuddunya, hingga ia datang ke masjid hanya seminggu sekali yaitu pada waktu
shalat Jum’at. Dengan semakin derasnya harta yang mengalir dirumah
Tsa’labah, kini ia lebih senang tinggal dirumah daripada jauh-jauh datang ke
masjid, bahkan shalat Jum’at pun ia tidak datang ke masjid..!
Sampai
Rasulullah bertanya-tanya, “Wahai sahabatku… sudah sekian lama Tsa’labah tidak
kelihatan di masjid. Tahukah kalian bagaimana keadaannya sekarang?” “Wahai
Rasulullah… Tsa’labah sudah menjadi orang kaya. Lembah-lembah di Madinah maupun
diluar Madinah, telah penuh sesak dengan kambing-kambing Tsa’labah…”“Benarkah?
Mengapa ia tidak pernah menyerahkan sedakehnya
sedikitpun?” Setelah Allah menurunkan ayat tentang kewajiban zakat. Rasulullah
mengutus dua orang sahabat untuk menjadi amil zakat. Seluruh umat Islam di
Madinah yang hartanya dipandang sudah mencapai nisab zakat
didatangi, tak terkecuali Tsa’labah pun mendapat giliran. Kedua utusan
Rasulullah membacakan ayat zakat dihadapan Tsa’labah. Kemudian setelah dihitung
dari seluruh harta kekayaannya ternyata memang banyak harta Tsa’labah yang
harus diserahkan sebagai zakat. Tak disangka, Tsa’labah mukanya berubah merah,
ia berang…“Apa-apaan ini! Kalian mengatakan ini zakat..! Tetapi menurutku ini
lebih tepat disebut upeti/ Pajak!
Sejak kapan Rasulullah menarik upeti! Hahh..?! Aku bisa rugi! Kalian pulang
saja. Aku tidak mau menyerahkan hartaku..!”
Kedua utusan Rasulullah kembali menghadap
Rasulullah dan menceritakan semua perbuatan Tsa’labah. Beliau bersedih telah
kehilangan seorang sahabat yang dulu tekun beribadah ketika miskin namun
setelah kaya ia telah terpengaruh dengan harta kekayaannya.
“Sungguh celaka Tsa’labah! Celakalah ia!” Kemudian
Allah menurunkan ayat 75 dalam surat At Taubah, tentang ciri-ciri orang
munafik. Ayat itu
segera menyebar ke seluruh muslimin di Madinah, hingga ada salah seorang
kerabat Tsa’labah yang datang memberitahunya..” Celakalah engkau Tsa’labah!
Allah telah menurunkan ayat karena perbuatanmu!”
Tsa’labah tertegun, ia baru sadar bahwa nafsu
angkara murka telah lama memperbudaknya. Kini ia bergegas menghadap Rasulullah
dengan membawa zakat dari seluruh hartanya. Namun Rasulullah tidak berkata
apa-apa kecuali hanya sepatah kata, “Sebab kedurhakaanmu, Allah melarangku
untuk menerima zakatmu!”
Rasulullah mengambil segenggam tanah lalu
ditaburkan diatas kepala Tsa’labah…“Inilah perumpamaan amalanmu selama ini…
sia-sia belaka! Aku telah peintahkan agar engkau menyerahkan zakat, tetapi
engkau menolak. Celakalah engkau Tsa’labah!” Tsa’labah
berjalan lunglai kembali kerumahnya. Hari-hari dalam hidupnya hanya dipenuhi
dengan penyesalan yang tiada arti. Sampai suatu hari terdengar kabar Rasulullah
telah wafat, ia semakin bersedih karena taubatnya tidak diterima oleh
Rasulullah hingga beliau wafat. Tsa’labah mencoba mendatangi khalifah Abu
Bakar sebagai pengganti Rasulullah. Ia datang dengan membawa zakatnya. Apakah
Abu Bakar menerimanya? Abu Bakar hanya berkata, “Rasulullah saja tidak mau
menerima zakatmu, bagaimana mungkin aku menerima zakatmu?”
Demikian pula di jaman kekhalifahan Umar bin
Khattab, Tsa’labah mencoba menyerahkan zakatnya. Umar pun tidak mau menerima
sebagaimana Rasulullah dan Abu Bakar tidak mau menerima zakatnya. Bahkan sampai
khalifah Utsman bin Affan juga tidak mau menerima zakat Tsa’labah karena
Rasulullah, Abu Bakar dan Umar tidak mau menerima zakatnya.
Kehidupan yang hina dan penuh kemurkaan Allah telah menimpa seorang sahabat
Rasulullah yang telah tenggelam di dalam gelimang harta hingga menyeretnya ke
lembah kemunafikan. Ia telah melalaikan kewajibannya. Ia telah mengingkari
janji-janjinya. Ia telah melecehkan kemuliaan Allah dan RasulNya, sehingga
membuahkan penderitaan yang kekal abadi di dalam neraka. (Ibnu Jarir Dalam Tafsir Ibnu Katsir)